Menyegarkan Kembali Makna Karakter Dalam
Pendidikan
Oleh: Rahmat Kamal, M. Pd.I
Maraknya istilah
pendidikan karakter beberapa tahun belakangan ini tentu tidak terlepas dari
berbagai latar belakang yang memupuk dan membesarkan namanya, antara lain; pertama,
latar belakang kehidupan sosial masyarakat khususnya pelajar yang memang mencerminkan
penurunan tingkat moral sebagai insan terdidik seperti halnya peningkatan
sejumlah kasus tawuran, pergaulan bebas lawan jenis, sampai pada penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang yang semakin hari semakin memprihatinkan, kedua;
latar belakang politis dengan lahirnya kebijakan pemerintah berupa Inpres. No 1
Tahun 2010 sebagai dasar penyusunan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang
pada akhirnya lebih bersifat formal administratif dan masuk ke dalam sejumlah kurikulum
berupa perangkat mengajar guru seperti halnya silabus dan RPP berkarakter; ketiga,
latar belakang ekonomis dari para pelaku bisnis tidak hanya media cetak dan
elektronik melainkan juga sejumlah lembaga yang mengatasnamakan pendidikan
untuk memanfaatkan peluang dari maraknya “trend” pendidikan karakter tadi sebagai
aji mumpung demi meraup sejumlah keuntungan; keempat, latar belakang
psikologis dari sebagian pihak yang ingin “ikut-ikutan” meramaikan tema yang
sedang nge”trend” agar tidak terlihat kurang info (kufo) dan kurang pergaulan
(kuper).
Keempat latar
belakang di atas bukan untuk menjustifikasi siapa yang benar dan siapa yang
salah, akan tetapi paling tidak latar belakang tadi bisa kita gunakan sebagai
dasar refleksi kita selaku bangsa khususnya para guru dan pendidik untuk lebih menyegarkan
kembali makna “karakter” dan “pendidikan” itu sendiri.
Mari kita
refleksikan bersama hal tersebut; pertama, “karakter” merupakan
keniscayaan dalam sebuah proses “pendidikan”, hal ini sesuai dengan makna
filosofis pendidikan seperti yang dikatakatan Socrates sebagai proses
pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge),
dan etika (conduct) (Baca Zaim El Mubarok). Lebih lanjut Ki Hajar
Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
budi pekerti, pikiran, dan jasmani peserta didik selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Oleh karenanya tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah
membangun aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang. Ketika kata
wisdom dan conduct yang disampaikan Socrates atau budi pekerti
yang disampaikan Ki Hajar Dewantara merupakan refresentasi dari kata karakter
yang menjadi tujuan dari sebuah proses pendidikan, maka dapatlah kita simpulkan
bahwa pendidikan karakter bukanlah sesuatu hal yang baru dalam pandangan kita
sehingga ketika kita menyebut kata “Pendidikan” saja, maka sudah jelas bahwa salah
satu maksud yang terkandung di dalamnya adalah “Pendidikan Karakter” karena makna
“karakter” itu sendiri ada dan muncul di balik kata “pendidikan”.
Kedua,
oleh karena “karakter” merupakan sebuah keniscayaan dalam proses “pendidikan”
maka hal ini menuntut kesadaran guru dan setiap pendidik untuk tidak terjebak
dalam praktek pembelajaran yang bersifat pragmatis dengan lebih memfokuskan
diri pada perolehan indeks prestasi hasil ujian yang bersifat nilai angka, akan
tetapi jauh lebih mulia dari itu seorang guru tentu harus bisa menjadi
inspirasi dan suri tauladan yang baik bagi para peserta didiknya untuk menjadi
pribadi yang berkarakter unggul dan mulia.
Ketiga, karakter
tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran agama atau PKn yang secara subtansi
materi mengajarkan moral dan etika, melainkan milik dari semua mata pelajaran
yang diajarkan dan disampaikan guru kepada para peserta didik, sehingga hal ini
menuntut para guru dan pendidik untuk tidak melupakan nilai-nilai etika dan
pesan-pesan moral yang sudah semestinya tersimpan di balik semua materi yang
disampaikan.
Keempat,
masuknya tema “pendidikan karakter” ke dalam sejumlah perangkat pembelajaran
seperti halnya Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berkarakter,
hanyalah sebatas sarana dalam membantu para guru untuk mengingatkan kembali bahwa
salah satu tujuan utama pembelajaran terletak pada terbentuknya karakter dan
kepribadian yang mulia, sehingga keberadaan “perangkat pembelajaran berkarakter”
tadi tidak kemudian dianggap sebagai formalitas belaka apalagi sekedar
menggugurkan kewajiban administratif para guru dan pendidik demi meraih
tunjangan profesi yang begitu menjanjikan.
Kelima,
karakter siswa akan muncul dari kebiasaan dan budaya para guru serta pendidiknya,
sehingga sehebat apapun kemampuan verbal para guru dan pendidik dalam
menyampaikan materi pelajaran, tetap ujung tombaknya adalah perilaku keseharian
dan kebiasaan para guru serta pendidik itu sendiri yang secara alam bawah sadar
akan membentuk karakter dan kepribadian para peserta didiknya dikarenakan mereka
para peserta didik senantiasa belajar dari lingkungan sekitarnya. Hal ini
sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Lickona (baca: Educating For
Character); bahwa “the schools moral culture affects students moral
functioning” artinya, budaya moral sekolah akan berpengaruh pada fungsi
moral siswa. Guru dan pendidik sudah seharusnya menjadi teladan utama dalam
menciptakan lingkungan budaya moral yang positif di sekolah.
Semoga refleksi
tadi bermanfaat khususnya bagi kita para guru dan pendidik dalam mengawal
kembali “Pendidikan” bangsa ini di masa yang akan datang. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar