Kamis, 03 Januari 2013

Makna Karakter Dalam Pendidikan

Menyegarkan Kembali Makna Karakter Dalam Pendidikan
Oleh: Rahmat Kamal, M. Pd.I
            Maraknya istilah pendidikan karakter beberapa tahun belakangan ini tentu tidak terlepas dari berbagai latar belakang yang memupuk dan membesarkan namanya, antara lain; pertama, latar belakang kehidupan sosial masyarakat khususnya pelajar yang memang mencerminkan penurunan tingkat moral sebagai insan terdidik seperti halnya peningkatan sejumlah kasus tawuran, pergaulan bebas lawan jenis, sampai pada penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang yang semakin hari semakin memprihatinkan, kedua; latar belakang politis dengan lahirnya kebijakan pemerintah berupa Inpres. No 1 Tahun 2010 sebagai dasar penyusunan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang pada akhirnya lebih bersifat formal administratif dan masuk ke dalam sejumlah kurikulum berupa perangkat mengajar guru seperti halnya silabus dan RPP berkarakter; ketiga, latar belakang ekonomis dari para pelaku bisnis tidak hanya media cetak dan elektronik melainkan juga sejumlah lembaga yang mengatasnamakan pendidikan untuk memanfaatkan peluang dari maraknya “trend” pendidikan karakter tadi sebagai aji mumpung demi meraup sejumlah keuntungan; keempat, latar belakang psikologis dari sebagian pihak yang ingin “ikut-ikutan” meramaikan tema yang sedang nge”trend” agar tidak terlihat kurang info (kufo) dan kurang pergaulan (kuper). 
            Keempat latar belakang di atas bukan untuk menjustifikasi siapa yang benar dan siapa yang salah, akan tetapi paling tidak latar belakang tadi bisa kita gunakan sebagai dasar refleksi kita selaku bangsa khususnya para guru dan pendidik untuk lebih menyegarkan kembali makna “karakter” dan “pendidikan” itu sendiri.
            Mari kita refleksikan bersama hal tersebut; pertama, “karakter” merupakan keniscayaan dalam sebuah proses “pendidikan”, hal ini sesuai dengan makna filosofis pendidikan seperti yang dikatakatan Socrates sebagai proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct) (Baca Zaim El Mubarok). Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani peserta didik selaras dengan alam dan masyarakatnya. Oleh karenanya tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah membangun aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang. Ketika kata wisdom dan conduct yang disampaikan Socrates atau budi pekerti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara merupakan refresentasi dari kata karakter yang menjadi tujuan dari sebuah proses pendidikan, maka dapatlah kita simpulkan bahwa pendidikan karakter bukanlah sesuatu hal yang baru dalam pandangan kita sehingga ketika kita menyebut kata “Pendidikan” saja, maka sudah jelas bahwa salah satu maksud yang terkandung di dalamnya adalah “Pendidikan Karakter” karena makna “karakter” itu sendiri ada dan muncul di balik kata “pendidikan”. 
   Kedua, oleh karena “karakter” merupakan sebuah keniscayaan dalam proses “pendidikan” maka hal ini menuntut kesadaran guru dan setiap pendidik untuk tidak terjebak dalam praktek pembelajaran yang bersifat pragmatis dengan lebih memfokuskan diri pada perolehan indeks prestasi hasil ujian yang bersifat nilai angka, akan tetapi jauh lebih mulia dari itu seorang guru tentu harus bisa menjadi inspirasi dan suri tauladan yang baik bagi para peserta didiknya untuk menjadi pribadi yang berkarakter unggul dan mulia.
            Ketiga, karakter tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran agama atau PKn yang secara subtansi materi mengajarkan moral dan etika, melainkan milik dari semua mata pelajaran yang diajarkan dan disampaikan guru kepada para peserta didik, sehingga hal ini menuntut para guru dan pendidik untuk tidak melupakan nilai-nilai etika dan pesan-pesan moral yang sudah semestinya tersimpan di balik semua materi yang disampaikan.
            Keempat, masuknya tema “pendidikan karakter” ke dalam sejumlah perangkat pembelajaran seperti halnya Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berkarakter, hanyalah sebatas sarana dalam membantu para guru untuk mengingatkan kembali bahwa salah satu tujuan utama pembelajaran terletak pada terbentuknya karakter dan kepribadian yang mulia, sehingga keberadaan “perangkat pembelajaran berkarakter” tadi tidak kemudian dianggap sebagai formalitas belaka apalagi sekedar menggugurkan kewajiban administratif para guru dan pendidik demi meraih tunjangan profesi yang begitu menjanjikan.
            Kelima, karakter siswa akan muncul dari kebiasaan dan budaya para guru serta pendidiknya, sehingga sehebat apapun kemampuan verbal para guru dan pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, tetap ujung tombaknya adalah perilaku keseharian dan kebiasaan para guru serta pendidik itu sendiri yang secara alam bawah sadar akan membentuk karakter dan kepribadian para peserta didiknya dikarenakan mereka para peserta didik senantiasa belajar dari lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Lickona (baca: Educating For Character); bahwa “the schools moral culture affects students moral functioning” artinya, budaya moral sekolah akan berpengaruh pada fungsi moral siswa. Guru dan pendidik sudah seharusnya menjadi teladan utama dalam menciptakan lingkungan budaya moral yang positif di sekolah.
            Semoga refleksi tadi bermanfaat khususnya bagi kita para guru dan pendidik dalam mengawal kembali “Pendidikan” bangsa ini di masa yang akan datang. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar