Kamis, 03 Januari 2013

Kompetensi Pendidik

KUALIFIKASI AKADEMIK
DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU PAI MI

PENDAHULUAN

Secara formal, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa guru adalah tenaga profesional, serta disyaratkan memiliki kualifikasi akademik S-1 (strata satu) atau D-4 (diploma empat) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik ini dibuktikan dengan ijazah, sedangkan relevansi dibuktikan dengan kesesuaian antara bidang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang diampu di sekolah. Sementara itu, persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran (yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesianal, dan kompetensi sosial) dibuktikan dengan sertifikat sebagai pendidik.[1]
Kebijakan sertifikasi sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi guru, menurut Masnur Muslich rasionalisasinya adalah apabila kompetensi guru bagus yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya bagus maka KBM-nya juga bagus. KBM yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan yang bermutu. Pemikiran inilah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi”[2].
Sejak dicangakan pada tahun 2003, peningkatan kualifikasi akedemik guru SD dengan syarat berijazah S1, relevansi bidang pendidikan, serta sertifikasi, mempunyai banyak kendala. Keadaan di lapangan yang masih jauh dari ideal membuat kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan per se. kebijakan ini dapat dipahami sebagai sebuah langkah yang baik, namun memerlukan prakondisi dengan syarat yang saat ini belum terpenuhi. Lambatnya keterlaksanaan kebijakan ini menjadi indikator belum terpenuhinya prasyarat tersebut. Terjadi overlap, keadaan di lapangan belum memenuhi prasyarat tersebut, bahkan masih menyimpan begitu banyak permasalahan, sedangkan disisi lain kebijakan ini begitu mendesak dilaksanakan untuk mendapatkan akselerasi dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pada saat yang sama, terdapat pergeseran paradigma pengembangan pendidikan tinggi Islam. Indikasinya yaitu perubahan IAIN menjadi UIN, yang menjadikannya tidak hanya mengembangkan ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu sosial, ilmu alam dan humaniora. Perubahan ini merupakan upaya untuk merealisir pengintegrasian ilmu agama dan Ilmu Umum[3].
Adanya kebijakan kualifikasi akademik guru S1 dan pergeseran paradigma pendidikan tinggi Islam yang mengusung perspektif integrasi interkoneksi, dapat menjadi batu pijakan peningkatan kualitas guru MI. Khusus untuk guru PAI, pengembangan materi di MI kemudian dapat dikembangkan melalui perspektif integrasi interkoneksi. Dengan pendekatan ini, pembelajaran PAI di MI dapat dikemas lebih menarik dan bermakna bagi peserta didik.

  1. KUALIFIKASI AKADEMIK GURU
Berjalan dengan bertahap, kualifikasi akademik guru berijazah S1 merupakan titik tolak peningkatan kualitas guru. Kualifikasi akademik harus terpenuhi terlebih dahulu. Selanjutnya sertifikasi dapat dilaksanakan bagi guru dalam jabatan yang telah berijazah S1/D4, dengan pertimbangan relevansi praktek pengajarannya di sekolah. Bagi guru yang mismatch, dapat memilih apakah akan mengikuti sertifikasi sebagaimana bidang akademik S1-nya atau sesuai bidang pelajaran yang diampu di sekolah.
Menanggapi kebijakan kualifikasi akademik guru harus S1, Paul Suparno[4] mengungkapkan beberapa permasalahan, yakni; pertama, banyak guru yang bukan S1 bahkan belum D2, butuh watu lama dapat menyesuaikan tuntutan tersebut. Kedua, banyak daerah yang kekurangan guru SD, jangankan guru lulusan S1, lulusan D2 saja tidak ada. Bila syarat menjadi guru begitu tinggi, maka semakin tidak ada guru yang mau menjadi guru di daerah. Ketiga, meski diberi kesempatan utuk menyesuaikan tingkat pendidikan S1, tidak semua guru yang sudah bekerja, secara pengetahuan, mampu menyelesaikan S1, karena tidak semua orang dapat menyelesaikan jenjang sarjana. Empat, masih banyak lulusan D2 PGSD yang belum mendapatkan penempatan. Mereka mau dikemanakan? Apakah harus menyelesaikan S1 dulu sebelum bekerja? Kelima, bila guru SD adalah lulusan tingkat sarjana, maka penggajian guru perlu disesuaikan. Bila gaji mereka tetap kecil, siapa yang mau? Apalagi setelah mengeluarkan biaya besar untuk kuliah[5].
Permasalahan yang dikemukakan Paul Suparno tersebut sebenarnya saling terkait satu sama lain. Sehingga dapat disederhanakan dengan mengklasifikasikannya dalam tiga hal. Pertama; yaitu problem kondisi lapangan. Hal ini meliputi masih banyaknya guru yang belum S1, kekurangan guru di daerah, juga masih banyak guru lulusan D2 yang belum mendapat penempatan. Kedua; problem kebijakan. Bahwa tidak semua guru mampu menyelesaikan S1, biaya kuliah S1 yang tidak sedikit, serta apakah guru yang belum berkualifikasi S1 harus menempuh jenjang S1 dahulu sebelum bekerja. Ketiga; problem kesejahteraan. Yakni masalah peningkatan kesejahteraan guru
1.      Kondisi Lapangan
Masih banyak guru-guru di Indonesia yang belum berijazah S1. Guru yang telah bekerja, namun belum berijazah S1 menjadi sebuah indikasi bahwa di lapangan kebutuhan akan guru cukup besar, sementara sumber daya guru yang tersedia terbatas. Akibatnya, meskipun dari segi akademik masih kurang, sumber daya yang ada tersebut tetap diperlukan untuk mengisi ‘kekosongan’.
Data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D-1. Akan semakin besar presentasenya jika dilihat dari tuntutan PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan[6].
Khusus mengenai keadaan kualifikasi guru di Madrasah, dapat dilihat pada grafik berikut:
http://www.pendis.kemenag.go.id/madrasah/statistik/statistik2004_2005/image010.gif
Grafik Kualifikasi Guru Madrasah[7].


Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi standar (D2 atau lebih) berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 50.5%.  Pada tingkat MTs yang sudah memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yang belum memenuhi standar sebanyak 33.8%.  Pada tingkat MA yang sudah memenuhi standar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%. Jumlah guru MI yang tidak memenuhi kualifikasi akademik, yakni 49,5% untuk standar D2, akan meningkat jika standar minimal tersebut ditingkatkan menjadi S1.
Apakah Indonesia kekurangan guru? Ali Rohmad mengungkapkan bahwa data BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara) per 31 Maret 1991 menyebutkan jumlah guru SD di Indonesia mencapai 1.166.605 orang. Sedang jumlah SD menurut surat Mendikbud kepada Menpan nomor 50073/MPK/’89 tanggal 30 Juni 1989 mencapai 145.676 buah. Jika setiap SD rata-rata memerlukan 7 orang guru, maka untuk 145.676 SD hanya dibutuhkan 1.019.732 orang guru. Dengan perhitungan seperti ini, secara kuantitatif terdapat kelebihan sebanyak 146.873 orang[8].
Jika masih terdapat daerah yang kekurangan guru, berarti masalah yang terjadi adalah distribusi guru yang tidak merata. Penulis beranggapan bahwa tidak meratanya guru bukan hanya dari segi kuantitas saja, namun juga dari segi kualitas. Sedikitnya guru di daerah memaksa guru dengan latar belakang akademik yang belum memadai kemudian menjadi guru. Sehingga peta distribusi guru yang terjadi adalah; di daerah maju, guru lebih banyak dan cukup memadai dalam hal kualitas (akademik). Sedangkan di daerah, guru masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas (akademik).
Pemerataan Guru
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang kurang melihat kondisi lapangan semakin memperburuk kesenjangan yang ada. Misalnya saja dalam hal Kurikulum. Perubahan kurikulum memiliki kecenderungan terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seperti perubahan KBK menjadi KTSP yang terjadi dalam jangka waktu dua tahun. Terkait hal ini, Muhammad Zaini mengungkapkan betapa gamang dan carut-marutnya pendidikan di Indonesia. Sementara sekolah yang berada di pedalaman masih menggunakan kurikulum 1994, sekolah yang berada di wilayah dengan kategori sedang, masih uji coba kurikulum 2004, tatapi pemerintah telah menginstruksikan kurikulum dengan nama baru KTSP[9].
Melihat kenyataan diatas, hendaknya pemerataan guru baik secara kuantitas maupun kualitas perlu menjadi perhatian disamping masalah peningkatan kualitas akademiknya. Jika kebijakan kualifikasi guru harus S1 tidak memperhatikan masalah pemerataan, hal itu akan semakin mempertinggi kesenjangan antara daerah maju dan daerah yang masih tertinggal.
Dengan asumsi bahwa guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik tersebut mendominasi daerah tertinggal, maka ada dua tugas yang menjadi PR guru di daerah. Pertama adalah memperoleh kualifikasi akademik, dan kedua adalah sertifikasi. Sedangkan guru-guru di daerah dengan kategori maju tinggal memikirkan masalah sertifikasi.
Paul Suparno memberikan gagasan bahwa untuk guru-guru di daerah-daerah maju, harus S1, Sedangkan untuk daerah yang masih tertinggal diberikan keringanan untuk cukup D2, namun mesti diberikan tambahan pengetahuan agar dapat maju[10].
Apa yang diungkapkan Paul Suparno tersebut, merupakan solusi yang cukup populis, dengan memperhatikan kesulitan-kesulitan pada tingkat praktik di daerah tertinggal. Namun meskipun dapat berjalan, tercapainya pemerataan masih menjadi tanda tanya. Pemberian tambahan pengetahuan bagi guru di daerah sebagai upaya mengimbangi kriteria guru S1 yang dinilai sulit terlaksana, tidak berlebihan jika disikapi pesimis. Jangankan untuk memberikan tambahan pengetahuan pada guru, pada kasus KTSP saja, pembinaan dan sosialisasi kurikulum tersebut belum merata[11]. Distribusi buku paket keluar jawa juga selalu mengalami keterlambatan hingga satu tahun lebih[12].
Lalu bagaimana untuk mengusahakan pemerataan? Riant Nugroho, mengemukakan pendapatnya, bahwa pemerintah saat ini hendaknya memfokuskan terlebih dahulu subsidi bagi sekolah dasar daripada sekolah lanjutan dan tinggi. Pola seperti ini wajar bagi negara berkembang. Lebih lanjut ia juga mengemukakan bahwa masyarakat harus menjadi mitra pemerintah dengan penerapan subsidi silang (antara siswa mampu dan kurang mampu) pada lembaga pendidikan yang dikembangkan masyarakat dan sekolah swasta[13].
Apa yang diungkapkan Riant Nugroho tersebut memang lebih mengarah pada pemerataan dari segi ekonomi. Sedangkan pada kasus kualifikasi guru, isu pemerataan adalah dalam hal pemerataan distribusi guru, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Penulis beranggapan bahwa terdapat benang merah antara peningkatan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan pemerataan guru. Seperti dikatakan Riant Nugroho bahwa “logika pembangunan mempunyai sisi yang sama dan universal, yaitu bahwa pembanguan dimulai dari pertumbuhan. Pertumbuhan itu kemudian dibagi atau diratakan. Tanpa pertumbuhan, tidak ada yang diratakan kecuali kemiskinan”[14].
Langkah pertama pemerataan distribusi guru yang dapat dilakukan ialah dengan memfokuskan perhatian lebih dahulu pada pemerataan guru MI/SD, dengan prioritas utama pada MI/SD di daerah. Dengan langkah pragmatis seperti ini, akan lebih mudah dalam memonitor dan mengevaluasi proses serta hasil. Konsentrasi guru cenderung terjadi pada daerah-daerah dengan kategori maju. Karena itu, daerah yang mengalami kekurangan guru SD/MI harus diperhatikan kemajuan ekonominya. Pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan sumberdaya serta potensi pada sektor-sektor penting peningkatan ekonomi daerah. Karena banyak daerah yang sebenarnya berpotensi namun kurang dalam hal sumberdaya pengelolanya. Kemajuan daerah akan menjadi daya tarik bagi para guru.
Bagi daerah-daerah dengan konsentrasi guru SD/MI yang berlebih. Harus mulai dibatasi, dan diusahakan pendistribusiannya ke daerah yang kekurangan guru. Guru dengan kualifikasi D2 sampai S1 yang belum mendapatkan penempatan diarahkan untuk mengisi kekosongan di daerah yang masih kekurangan guru. Masalah-masalah adaptasi di daerah penempatan dapat dikurangi dengan penempatan secara kelompok. Selain itu wilayah penempatan juga perlu mempertimbangkan tingkat integrasi antara pendatang dan masyarakat setempat dengan melakukan penelitian-penelitian sosial. Kesejahteraan guru yang ditempatkan di daerah harus sesuai dengan tingkat kesulitannya, agar tidak muncul pemikiran bahwa menjadi guru di daerah tidak menguntungkan, bahkan merugikan.
2.      Problem Kebijakan
Permasalahan seputar kebijakan agar guru SD/MI memiliki kualifikasi akademik minimal S1, diantaranya adalah: pertama, biaya kuliah yang tidak sedikit. Kedua, tidak semua guru mampu menyelesaikan jenjang S1. Ketiga, apakah guru yang belum memenuhi kualifikasi S1 harus kuliah dulu atau mengajar?
Masalah biaya kuliah dapat diatasi dengan beasiswa. Hanya saja beasiswa tersebut perlu disearahkan dengan upaya pelaksanaan pemerataan di atas. Dalam hal ini, terdapat dua sasaran calon penerima beasiswa, yaitu calon guru (lulusan SMU yang belum menjabat sebagi guru) dan guru dalam jabatan yang belum berkriteria S1. Keduanya perlu diperhatikan, dalam rangka pemerataan sekaligus peningkatan kualifikasi akademik guru.
Dana dari pemerintah untuk beasiswa sekolah S1 difokuskan pada guru-guru SD/MI, dengan prioritas utama guru/calon guru SD/MI di daerah tertinggal. Beasiswa pendidikan dari daerah untuk para calon guru ditingkatkan, dengan maksud agar para calon guru tersebut nantinya mengabdi di daerah mereka masing-masing.
Untuk mendapatkan akselerasi, perhatian kepada para calon guru berkualitas perlu dilakukan sejak dini. Siswa-siswa di daerah yang berprestasi mulai dipantau sejak dari sekolah dasar dan diusahakan dapat bersekolah sampai jejang Sekolah Menengah (SMU/MA). Siswa-siswa calon guru tersebut menjadi prioritas utama penerima beasiswa daerah untuk bersekolah S1 PGSD/PGMI. Guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik S1 juga diberikan beasiswa dengan memperhatikan tingkat kemapuannya menyelesaikan jenjang S1. Penempatan di perguruan tinggi yang sama antara calon guru dari SMA/MA dengan guru dalam jabatan untuk mendapatkan gelar S1 memungkinkan kerjasama diantara mereka. Dengan begitu, kekhawatiran bahwa guru dalam jabatan akan mengalami kesulitan menyelesaikan jenjang S1 akan berkurang. Selain itu, kerjasama antara mereka akan menjalin hubungan yang saling melengkapi. Calon guru dari SMU/MA memiliki kelebihan dalam hal keilmuan/kemauan menempuh jenjang S1. Sedangkan guru dalam jabatan memiliki kelebihan dalam hal praktek. Dengan begitu, selain kualifikasi akademik guru terpenuhi setelah lulus S1, permasalahan-permasalahan pendidikan di daerah tidak “mengagetkan” para guru baru.
Untuk mempercepat keterlaksanaan kebijakan kualifikasi guru S1 dapat dilakukan dengan membuka jurusan S1 di berbagai tempat. Sedangkan program D2 yang ada harus dikurangi, ditutup, atau dikembangkan menjadi S1 agar tidak merugikan mahasiswa yang sedang kuliah D2 tidak dirugikan[15].

3.      Kesejahteraan Guru
Menyelesaikan jenjang S1 tidak mudah, juga memerlukan biaya serta waktu. Paul Suparno berpendapat jika guru SD harus sarjana, maka penggajian perlu disesuaikan, karena jika gaji mereka tetap kecil tentu tidak akan ada yang mau[16]. Berbeda dengan pendapat tersebut, Anonim, sebagaimana dikutip Prof. Dr. H. Djohar M.S, mengemukakan bahwa, gaji guru sebaiknya jangan diatur menurut ijazah, akan tetapi berdasarkan umur atau pengalaman mereka atau prestasi mereka, karena kapasitas guru berkembang dalam proses perjalanan berdasarkan pengalaman mereka dan tidak terjadi sesaat[17].
Terdapat masalah disini. Gaji yang lebih tinggi untuk guru berijazah S1 diperlukan sebagai stimulus. Jika para guru baru (belum mempunyai pengalaman mengajar) didahulukan untuk mengisi posisi guru di SD/MI sedangkan di sekolah tersebut terdapat guru dengan pengalaman mengajar yang sudah lama mendapat gaji yang lebih rendah tentu akan menimbulkan kesenjangan. Jika digaji sama, guru lama yang belum memenuhi kualifikasi S1 juga tidak akan tertarik mengambil kuliah S1.
Apakah pengalaman mengajar dapat disetarakan dengan lembar ijazah dalam hal penggajian? Terkait masalah gaji guru, Djohar M.S, berpendapat bahwa perbedaan gaji hendaknya didasarkan kepada kriteria yang objektif, seperti tingkat kualifikasi, tahun pengalaman, dan tanggung jawab[18]. Artinya, pengalaman guru menjadi ukuran imbalan mereka dalam melaksanakan tugas dan bukan ijazah. Ijazah hanya untuk menentukan relevansi di jenjang dan jenis pendidikan mana guru itu seharusnya mengajar, sesuai dengan kesiapan pendidikan prajabatan mereka. Sedangkan untuk guru yang telah ditempatkan berdasar kriteria ijazah tersebut, penggajian disesuaikan dengan standar minimal kebutuhan hidup yagn rinciannya telah dibuat oleh “rekomendasi-rekomendasi” untuk pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan[19].
Kembali pada masalah gaji guru lama belum S1 dan guru baru S1, hendaknya apa yang menjadi amanat Undang-Undang untuk meningkatkan kualifikasi guru SD/MI menjadi S1, jangan sampai menggeser posisi guru dalam jabatan yang telah mempunyai masa kerja lama. Bagi guru lama yang belum berkualifikasi S1, akan mendapatkan peningkatan gaji setelah menempuh jenjang S1. Pertimbangan peningkatan tersebut esensinya bukan didasarkan pada ijazah S1-nya tetapi pada masa kerja dan kemauannya menempuh jenjang S1. Untuk memotivasi kualifikasi guru S1, peningkatan karier dibuat lebih terbuka bagi guru yang telah S1, misalnya saja untuk menjadi kepala sekolah.

  1. PENINGEMBANGAN DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU MI
Esensi kebijakan kualifikasi guru adalah meningkatkan kualitas guru pada tingkat praktik, juga peningkatan mutu pendidikan di Sekolah. Apakah guru dengan ijazah S1 dan sudah bersertifikat akan otomatis memiliki kredibilitas? Apakah indikator kualitas guru adalah ijazah S1? Apakah peningkatan kualitas guru hanya didapat dari jenjang S1 pendidikan, sedangkan masa kerja sebagai guru selama ini tidak dapat dimaknai sebagai tempat mengasah kualitas?
Asumsi kebijakan kualifikasi guru adalah jenjang pendidikan guru mempengaruhi kualitas guru. Guru yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi tentu lebih memiliki kemampuan pengajaran (teoritis) dibanding guru yang hanya menempuh jenjang D2. Namun guru lulusan D2 yang telah mengajar dapat saja meningkatkan pengetahuan terkait pengajaran dengan terus belajar secara otodidak atau membaca buku. Meskipun hal ini terbatas bagi guru dengan motivasi tinggi.
Perlu dipilah bahwa prestasi guru adalah ‘ijazah’ yang sebenarnya. Kebijakan kualifikasi guru S1 diprioritaskan untuk memperbaiki kualitas, yang indikatornya adalah prestasi. Penempatan guru S1 diarahkan pada sekolah yang belum berkualitas. Selanjutnya kewajiban menempuh S1 ditekankan pada guru yang masih kurang prestasinya. Indikator kualitas sekolah dapat dilihat melalui hasil nilai UAN/UAS dan jumlah guru dengan kulaifikasi akademik yang memenuhi standar. Sedangkan untuk mengukur prestasi guru, dapat dilakukan dengan memberikan tes, yang berkaitan dengan masalah-masalah pengajaran dan pengembangan kurikulum. Tes tersebut harus mengacu pada masalah-masalah mendasar pengajaran yang ada di sekolah serta berkaitan langsung dengan kepentingan anak didik.
Dengan menarik perhatian pada segi prestasi, maka permasalahan menjadi terpusat pada segi mentalitas Guru. Tugas guru sesungguhnya sangat berat. Dikatakan berat jika dijalankan dengan baik dan sesuai dengan tuntutan yang ada. Namun jika dilaksanakan dengan asal jalan dan dimaknai sebagai rutinitas saja tanpa memperhatikan kemajuan-pun dapat saja terus berjalan, meskipun jalan di tempat. Untuk itu kesadaran guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi anak didik adalah hal yang terpenting bagi kemajuan pendidikan. Apapun kebijakannya, selama itu tidak menyentuh kesadaran tersebut maka kemajuan pendidikan akan sulit tercapai.

  1. KESIMPULAN
Kualifikasi akademik guru SD/MI S1, merupakan upaya yang baik sebagai peningkatan kualitas pendidikan. Pelaksanaannya harus mengkaji kondisi lapangan, implementasi kebijakan dan fleksibilitasnya, juga kesejahteraan guru. Kondisi lapangan menuntut upaya pemerataan. Pemerataan sesungguhnya merupakan kondisi yang perlu diciptakan terlebih dahulu pra kebijakan. Untuk itu orientasi kebijakan kualifikasi akademik guru perlu menekankan upaya pemerataan. Hal ini harus tercermin dalam proses pelaksanaannya. Perhatian terhadap kesejahteraan guru harus ditingkatkan. Karena peningkatan kualitas adalah esensi kebijakan ini, maka prestasi guru dan pertimbangan-pertmbangan objektif lainnya menjadi ‘rekomendasi utama’ peningkatan kesejahteraan.

*****


DAFTAR PUSTAKA

Djohar, 2006, Guru, Pendidikan dan Pembinaannya, Yogyakarta: Grafika Indah
Khaeruddin, Mahfud Junaedi, dkk, 2007, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet II Yogyakarta: Pilar Media
Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, Yogyakarta: Teras, 2009
Muslich, Masnur, 2007, Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik, Jakarta: Bumi Aksara
Nugroho, Riant, 2008, Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rohmad, Ali, 2009, Kapita Selekta Pendidikan, Cet II, Yogyakarta: Teras
Tyas, Darmaning, 2007, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cet II, Yogyakarta: LKiS

www.kemenag.com
Paul Suparno, Kualifikasi Guru SD Harus S-1?, dalam http://tunggarawae.multiply.com



[1] Masnur Muslich,Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007), hal 5
[2] Ibid, hal 8
[3] Sutrisno, Revolusi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal 159-160
[4] Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
[5] Paul Suparno, Kualifikasi Guru SD Harus S-1?, dalam http://tunggarawae.multiply.com
[6] Masnur Muslich, Sertifikasi, hal 6
[7] www.kemenag.com
[8] Ali Rohmad, Kapita Selekta Pendidikan,Cet II (Yogyakarta: Teras, 2009), hal 55
[9] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal 176
[10] Paul Suparno, Kualifikasi… op-cit.
[11]Khaeruddin, Mahfud Junaedi, dkk, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet II (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hal 11
[12] Darmaning Tyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cet II (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal 7
[13] Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 40
[14] Riant Nugroho, hal 35
[15] Paul Suparno, Kualifikasi…,
[16] Paul Suparno, Kualifikasi…,
[17] Djohar, Guru, Pendidikan dan Pembinaannya, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hal 36
[18] Djohar, Ibid, hal 37
[19] Djohar, Ibid 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar