KUALIFIKASI AKADEMIK
DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU PAI MI
PENDAHULUAN
Secara
formal, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI No.
14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa guru adalah tenaga profesional, serta
disyaratkan memiliki kualifikasi akademik S-1 (strata satu) atau D-4 (diploma
empat) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya dan
menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik ini
dibuktikan dengan ijazah, sedangkan relevansi dibuktikan dengan kesesuaian
antara bidang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang diampu di
sekolah. Sementara itu, persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen
pembelajaran (yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik,
kompetensi profesianal, dan kompetensi sosial) dibuktikan dengan sertifikat
sebagai pendidik.[1]
Kebijakan sertifikasi sebagai upaya untuk meningkatkan
kompetensi guru, menurut Masnur Muslich rasionalisasinya
adalah “apabila kompetensi guru
bagus yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus.
Apabila kinerjanya bagus maka KBM-nya juga bagus. KBM yang bagus diharapkan
dapat membuahkan pendidikan yang bermutu. Pemikiran inilah yang mendasari bahwa
guru perlu disertifikasi”[2].
Sejak
dicangakan pada tahun 2003, peningkatan kualifikasi akedemik guru SD dengan
syarat berijazah S1, relevansi bidang pendidikan, serta sertifikasi, mempunyai
banyak kendala. Keadaan di lapangan yang masih jauh dari ideal membuat
kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan per
se. kebijakan ini dapat dipahami sebagai sebuah langkah yang baik, namun
memerlukan prakondisi dengan syarat yang saat ini belum terpenuhi. Lambatnya keterlaksanaan kebijakan ini menjadi
indikator belum terpenuhinya prasyarat tersebut. Terjadi overlap, keadaan di lapangan belum memenuhi prasyarat tersebut,
bahkan masih menyimpan begitu banyak permasalahan, sedangkan disisi lain
kebijakan ini begitu mendesak dilaksanakan untuk mendapatkan akselerasi dalam
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pada
saat yang sama, terdapat pergeseran paradigma pengembangan pendidikan tinggi
Islam. Indikasinya yaitu perubahan IAIN menjadi UIN, yang menjadikannya tidak
hanya mengembangkan ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu sosial, ilmu alam
dan humaniora. Perubahan ini merupakan upaya untuk merealisir pengintegrasian
ilmu agama dan Ilmu Umum[3].
Adanya
kebijakan kualifikasi akademik guru S1 dan pergeseran paradigma pendidikan
tinggi Islam yang mengusung perspektif integrasi interkoneksi, dapat menjadi
batu pijakan peningkatan kualitas guru MI. Khusus untuk guru PAI, pengembangan
materi di MI kemudian dapat dikembangkan melalui perspektif integrasi
interkoneksi. Dengan pendekatan ini, pembelajaran PAI di MI dapat dikemas lebih
menarik dan bermakna bagi peserta didik.
- KUALIFIKASI AKADEMIK GURU
Berjalan dengan
bertahap, kualifikasi akademik guru berijazah S1 merupakan titik tolak
peningkatan kualitas guru. Kualifikasi akademik harus terpenuhi terlebih
dahulu. Selanjutnya sertifikasi dapat dilaksanakan bagi guru dalam jabatan yang
telah berijazah S1/D4, dengan pertimbangan relevansi praktek pengajarannya di
sekolah. Bagi guru yang mismatch,
dapat memilih apakah akan mengikuti sertifikasi sebagaimana bidang akademik
S1-nya atau sesuai bidang pelajaran yang diampu di sekolah.
Menanggapi
kebijakan kualifikasi akademik guru harus S1,
Paul Suparno[4]
mengungkapkan beberapa permasalahan, yakni; pertama, banyak guru yang bukan S1
bahkan belum D2, butuh watu lama dapat menyesuaikan tuntutan tersebut. Kedua,
banyak daerah yang kekurangan guru SD, jangankan guru lulusan S1, lulusan D2
saja tidak ada. Bila syarat menjadi guru begitu tinggi, maka semakin tidak ada
guru yang mau menjadi guru di daerah. Ketiga, meski diberi kesempatan utuk
menyesuaikan tingkat pendidikan S1, tidak semua guru yang sudah bekerja, secara
pengetahuan, mampu menyelesaikan S1, karena tidak semua orang dapat
menyelesaikan jenjang sarjana. Empat, masih banyak lulusan D2 PGSD yang belum
mendapatkan penempatan. Mereka mau dikemanakan? Apakah harus menyelesaikan S1
dulu sebelum bekerja? Kelima, bila guru SD adalah lulusan tingkat sarjana, maka
penggajian guru perlu disesuaikan. Bila gaji mereka tetap kecil, siapa yang
mau? Apalagi setelah mengeluarkan
biaya besar untuk kuliah[5].
Permasalahan
yang dikemukakan Paul Suparno tersebut sebenarnya saling terkait satu sama
lain. Sehingga dapat disederhanakan dengan mengklasifikasikannya dalam tiga
hal. Pertama; yaitu problem kondisi lapangan. Hal ini meliputi masih banyaknya
guru yang belum S1, kekurangan guru di daerah, juga masih banyak guru lulusan
D2 yang belum mendapat penempatan. Kedua; problem kebijakan. Bahwa tidak semua
guru mampu menyelesaikan S1, biaya kuliah S1 yang tidak sedikit, serta apakah
guru yang belum berkualifikasi S1 harus menempuh jenjang S1 dahulu sebelum
bekerja. Ketiga; problem kesejahteraan. Yakni masalah peningkatan kesejahteraan
guru
1. Kondisi Lapangan
Masih banyak
guru-guru di Indonesia yang belum berijazah S1. Guru yang telah bekerja, namun
belum berijazah S1 menjadi sebuah indikasi bahwa di lapangan kebutuhan akan
guru cukup besar, sementara sumber daya guru yang tersedia terbatas. Akibatnya,
meskipun dari segi akademik masih kurang, sumber daya yang ada tersebut tetap
diperlukan untuk mengisi ‘kekosongan’.
Data
dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun
2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak
memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Di tingkat SD, guru yang tidak
memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang (34%) yang
meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang
berijazah D-1. Akan
semakin besar presentasenya jika dilihat dari tuntutan PP no 19 tahun 2005
tentang standar nasional
pendidikan[6].
Khusus mengenai
keadaan kualifikasi guru di Madrasah, dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik Kualifikasi Guru Madrasah[7].
Kualifikasi guru MI yang sudah memenuhi
standar (D2 atau lebih) berjumlah 49.5% dan yang belum memenuhi standar sebanyak
50.5%. Pada tingkat MTs yang sudah
memenuhi standar (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yang belum memenuhi standar
sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang
sudah memenuhi standar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak
28.0%. Jumlah guru MI yang tidak memenuhi kualifikasi
akademik, yakni 49,5% untuk standar D2, akan meningkat jika standar minimal tersebut
ditingkatkan menjadi S1.
Apakah Indonesia kekurangan
guru? Ali Rohmad mengungkapkan bahwa data BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian
Negara) per 31 Maret 1991 menyebutkan jumlah guru SD di Indonesia mencapai
1.166.605 orang. Sedang jumlah SD menurut surat Mendikbud kepada Menpan nomor
50073/MPK/’89 tanggal 30 Juni 1989 mencapai 145.676 buah. Jika setiap SD
rata-rata memerlukan 7 orang guru, maka untuk 145.676 SD hanya dibutuhkan
1.019.732 orang guru. Dengan perhitungan seperti ini, secara kuantitatif
terdapat kelebihan sebanyak 146.873 orang[8].
Jika masih terdapat daerah
yang kekurangan guru, berarti masalah yang terjadi adalah distribusi guru yang
tidak merata. Penulis beranggapan bahwa tidak meratanya guru bukan hanya dari
segi kuantitas saja, namun juga dari segi kualitas. Sedikitnya guru di daerah
memaksa guru dengan latar belakang akademik yang belum memadai kemudian menjadi
guru. Sehingga peta distribusi guru yang terjadi adalah; di daerah maju, guru
lebih banyak dan cukup memadai dalam hal kualitas (akademik). Sedangkan di
daerah, guru masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas (akademik).
Pemerataan Guru
Kebijakan-kebijakan pendidikan
yang kurang melihat kondisi lapangan semakin memperburuk kesenjangan yang ada. Misalnya
saja dalam hal Kurikulum. Perubahan kurikulum memiliki kecenderungan terjadi
dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seperti perubahan KBK menjadi KTSP yang
terjadi dalam jangka waktu dua tahun. Terkait hal ini, Muhammad Zaini
mengungkapkan betapa gamang dan carut-marutnya pendidikan di Indonesia.
Sementara sekolah yang berada di pedalaman masih menggunakan kurikulum 1994,
sekolah yang berada di wilayah dengan kategori sedang, masih uji coba kurikulum
2004, tatapi pemerintah telah menginstruksikan kurikulum dengan nama baru KTSP[9].
Melihat kenyataan diatas,
hendaknya pemerataan guru baik secara kuantitas maupun kualitas perlu menjadi
perhatian disamping masalah peningkatan kualitas akademiknya. Jika kebijakan
kualifikasi guru harus S1 tidak memperhatikan masalah pemerataan, hal itu akan
semakin mempertinggi kesenjangan antara daerah maju dan daerah yang masih
tertinggal.
Dengan asumsi bahwa guru yang
belum memenuhi kualifikasi akademik tersebut mendominasi daerah tertinggal,
maka ada dua tugas yang menjadi PR guru di daerah. Pertama adalah memperoleh
kualifikasi akademik, dan kedua adalah sertifikasi. Sedangkan guru-guru di
daerah dengan kategori maju tinggal memikirkan masalah sertifikasi.
Paul Suparno memberikan
gagasan bahwa untuk guru-guru di daerah-daerah maju, harus S1, Sedangkan untuk
daerah yang masih tertinggal diberikan keringanan untuk cukup D2, namun mesti
diberikan tambahan pengetahuan agar dapat maju[10].
Apa yang diungkapkan Paul
Suparno tersebut, merupakan solusi yang cukup populis, dengan memperhatikan
kesulitan-kesulitan pada tingkat praktik di daerah tertinggal. Namun meskipun
dapat berjalan, tercapainya pemerataan masih menjadi tanda tanya. Pemberian
tambahan pengetahuan bagi guru di daerah sebagai upaya mengimbangi kriteria
guru S1 yang dinilai sulit terlaksana, tidak berlebihan jika disikapi pesimis.
Jangankan untuk memberikan tambahan pengetahuan pada guru, pada kasus KTSP
saja, pembinaan dan sosialisasi kurikulum tersebut belum merata[11].
Distribusi buku paket keluar jawa juga selalu mengalami keterlambatan hingga
satu tahun lebih[12].
Lalu bagaimana untuk
mengusahakan pemerataan? Riant Nugroho, mengemukakan pendapatnya, bahwa
pemerintah saat ini hendaknya memfokuskan terlebih dahulu subsidi bagi sekolah
dasar daripada sekolah lanjutan dan tinggi. Pola seperti ini wajar bagi negara
berkembang. Lebih lanjut ia juga mengemukakan bahwa masyarakat harus menjadi
mitra pemerintah dengan penerapan subsidi silang (antara siswa mampu dan kurang
mampu) pada lembaga pendidikan yang dikembangkan masyarakat dan sekolah swasta[13].
Apa yang diungkapkan Riant
Nugroho tersebut memang lebih mengarah pada pemerataan dari segi ekonomi.
Sedangkan pada kasus kualifikasi guru, isu pemerataan adalah dalam hal
pemerataan distribusi guru, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Penulis
beranggapan bahwa terdapat benang merah antara peningkatan ekonomi, pemerataan
pendidikan, dan pemerataan guru. Seperti dikatakan Riant Nugroho bahwa “logika
pembangunan mempunyai sisi yang sama dan universal, yaitu bahwa pembanguan
dimulai dari pertumbuhan. Pertumbuhan itu kemudian dibagi atau diratakan. Tanpa
pertumbuhan, tidak ada yang diratakan kecuali kemiskinan”[14].
Langkah pertama pemerataan distribusi
guru yang dapat dilakukan ialah dengan memfokuskan perhatian lebih dahulu pada
pemerataan guru MI/SD, dengan prioritas utama pada MI/SD di daerah. Dengan
langkah pragmatis seperti ini, akan lebih mudah dalam memonitor dan
mengevaluasi proses serta hasil. Konsentrasi guru cenderung terjadi pada
daerah-daerah dengan kategori maju. Karena itu, daerah yang mengalami
kekurangan guru SD/MI harus diperhatikan kemajuan ekonominya. Pemerintah pusat
bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan sumberdaya serta
potensi pada sektor-sektor penting peningkatan ekonomi daerah. Karena banyak
daerah yang sebenarnya berpotensi namun kurang dalam hal sumberdaya
pengelolanya. Kemajuan daerah akan menjadi daya tarik bagi para guru.
Bagi daerah-daerah dengan konsentrasi
guru SD/MI yang berlebih. Harus mulai dibatasi, dan diusahakan
pendistribusiannya ke daerah yang kekurangan guru. Guru dengan kualifikasi D2
sampai S1 yang belum mendapatkan penempatan diarahkan untuk mengisi kekosongan
di daerah yang masih kekurangan guru. Masalah-masalah adaptasi di daerah
penempatan dapat dikurangi dengan penempatan secara kelompok. Selain itu wilayah
penempatan juga perlu mempertimbangkan tingkat integrasi antara pendatang dan
masyarakat setempat dengan melakukan penelitian-penelitian sosial.
Kesejahteraan guru yang ditempatkan di daerah harus sesuai dengan tingkat
kesulitannya, agar tidak muncul pemikiran bahwa menjadi guru di daerah tidak
menguntungkan, bahkan merugikan.
2. Problem
Kebijakan
Permasalahan seputar kebijakan
agar guru SD/MI memiliki kualifikasi akademik minimal S1, diantaranya adalah:
pertama, biaya kuliah yang tidak sedikit. Kedua, tidak semua guru mampu menyelesaikan
jenjang S1. Ketiga, apakah guru yang belum memenuhi kualifikasi S1 harus kuliah
dulu atau mengajar?
Masalah biaya kuliah dapat
diatasi dengan beasiswa. Hanya saja beasiswa tersebut perlu disearahkan dengan
upaya pelaksanaan pemerataan di atas. Dalam hal ini, terdapat dua sasaran calon
penerima beasiswa, yaitu calon guru (lulusan SMU yang belum menjabat sebagi
guru) dan guru dalam jabatan yang belum berkriteria S1. Keduanya perlu
diperhatikan, dalam rangka pemerataan sekaligus peningkatan kualifikasi
akademik guru.
Dana dari pemerintah untuk
beasiswa sekolah S1 difokuskan pada guru-guru SD/MI, dengan prioritas utama
guru/calon guru SD/MI di daerah tertinggal. Beasiswa pendidikan dari daerah
untuk para calon guru ditingkatkan, dengan maksud agar para calon guru tersebut
nantinya mengabdi di daerah mereka masing-masing.
Untuk mendapatkan akselerasi,
perhatian kepada para calon guru berkualitas perlu dilakukan sejak dini.
Siswa-siswa di daerah yang berprestasi mulai dipantau sejak dari sekolah dasar
dan diusahakan dapat bersekolah sampai jejang Sekolah Menengah (SMU/MA).
Siswa-siswa calon guru tersebut menjadi prioritas utama penerima beasiswa
daerah untuk bersekolah S1 PGSD/PGMI. Guru dalam jabatan yang belum memenuhi
kualifikasi akademik S1 juga diberikan beasiswa dengan memperhatikan tingkat
kemapuannya menyelesaikan jenjang S1. Penempatan di perguruan tinggi yang sama
antara calon guru dari SMA/MA dengan guru dalam jabatan untuk mendapatkan gelar
S1 memungkinkan kerjasama diantara mereka. Dengan begitu, kekhawatiran bahwa
guru dalam jabatan akan mengalami kesulitan menyelesaikan jenjang S1 akan berkurang.
Selain itu, kerjasama antara mereka akan menjalin hubungan yang saling
melengkapi. Calon guru dari SMU/MA memiliki kelebihan dalam hal keilmuan/kemauan
menempuh jenjang S1. Sedangkan guru dalam jabatan memiliki kelebihan dalam hal
praktek. Dengan begitu, selain kualifikasi akademik guru terpenuhi setelah
lulus S1, permasalahan-permasalahan pendidikan di daerah tidak “mengagetkan”
para guru baru.
Untuk mempercepat
keterlaksanaan kebijakan kualifikasi guru S1 dapat dilakukan dengan membuka
jurusan S1 di berbagai tempat. Sedangkan program D2 yang ada harus dikurangi,
ditutup, atau dikembangkan menjadi S1 agar tidak merugikan mahasiswa yang
sedang kuliah D2 tidak dirugikan[15].
3. Kesejahteraan
Guru
Menyelesaikan jenjang S1 tidak
mudah, juga memerlukan biaya serta waktu. Paul Suparno berpendapat jika guru SD
harus sarjana, maka penggajian perlu disesuaikan, karena jika gaji mereka tetap
kecil tentu tidak akan ada yang mau[16].
Berbeda dengan pendapat tersebut, Anonim, sebagaimana dikutip Prof. Dr. H.
Djohar M.S, mengemukakan bahwa, gaji guru sebaiknya jangan diatur menurut
ijazah, akan tetapi berdasarkan umur atau pengalaman mereka atau prestasi
mereka, karena kapasitas guru berkembang dalam proses perjalanan berdasarkan
pengalaman mereka dan tidak terjadi sesaat[17].
Terdapat masalah disini. Gaji
yang lebih tinggi untuk guru berijazah S1 diperlukan sebagai stimulus. Jika
para guru baru (belum mempunyai pengalaman mengajar) didahulukan untuk mengisi
posisi guru di SD/MI sedangkan di sekolah tersebut terdapat guru dengan pengalaman
mengajar yang sudah lama mendapat gaji yang lebih rendah tentu akan menimbulkan
kesenjangan. Jika digaji sama, guru lama yang belum memenuhi kualifikasi S1 juga
tidak akan tertarik mengambil kuliah S1.
Apakah pengalaman mengajar
dapat disetarakan dengan lembar ijazah dalam hal penggajian? Terkait masalah
gaji guru, Djohar M.S, berpendapat bahwa perbedaan gaji hendaknya didasarkan
kepada kriteria yang objektif, seperti tingkat kualifikasi, tahun pengalaman,
dan tanggung jawab[18].
Artinya, pengalaman guru menjadi ukuran imbalan mereka dalam melaksanakan tugas
dan bukan ijazah. Ijazah hanya untuk menentukan relevansi di jenjang dan jenis
pendidikan mana guru itu seharusnya mengajar, sesuai dengan kesiapan pendidikan
prajabatan mereka. Sedangkan untuk guru yang telah ditempatkan berdasar kriteria
ijazah tersebut, penggajian disesuaikan dengan standar minimal kebutuhan hidup
yagn rinciannya telah dibuat oleh “rekomendasi-rekomendasi” untuk pemberdayaan
guru dan tenaga kependidikan[19].
Kembali pada masalah gaji guru
lama belum S1 dan guru baru S1, hendaknya apa yang menjadi amanat Undang-Undang
untuk meningkatkan kualifikasi guru SD/MI menjadi S1, jangan sampai menggeser
posisi guru dalam jabatan yang telah mempunyai masa kerja lama. Bagi guru lama
yang belum berkualifikasi S1, akan mendapatkan peningkatan gaji setelah
menempuh jenjang S1. Pertimbangan peningkatan tersebut esensinya bukan didasarkan
pada ijazah S1-nya tetapi pada masa kerja dan kemauannya menempuh jenjang S1.
Untuk memotivasi kualifikasi guru S1, peningkatan karier dibuat lebih terbuka
bagi guru yang telah S1, misalnya saja untuk menjadi kepala sekolah.
- PENINGEMBANGAN DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU MI
Esensi kebijakan kualifikasi guru
adalah meningkatkan kualitas guru pada tingkat praktik, juga peningkatan mutu
pendidikan di Sekolah. Apakah guru
dengan ijazah S1 dan sudah bersertifikat akan otomatis memiliki kredibilitas?
Apakah indikator kualitas guru adalah ijazah S1? Apakah peningkatan kualitas
guru hanya didapat dari jenjang S1 pendidikan, sedangkan masa kerja sebagai
guru selama ini tidak dapat dimaknai sebagai tempat mengasah kualitas?
Asumsi kebijakan
kualifikasi guru adalah jenjang pendidikan guru mempengaruhi kualitas guru.
Guru yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi tentu lebih memiliki kemampuan
pengajaran (teoritis) dibanding guru yang hanya menempuh jenjang D2. Namun guru
lulusan D2 yang telah mengajar dapat saja meningkatkan pengetahuan terkait
pengajaran dengan terus belajar secara otodidak atau membaca buku. Meskipun hal
ini terbatas bagi guru dengan motivasi tinggi.
Perlu dipilah
bahwa prestasi guru adalah ‘ijazah’ yang sebenarnya. Kebijakan kualifikasi guru
S1 diprioritaskan untuk memperbaiki kualitas, yang indikatornya adalah
prestasi. Penempatan guru S1 diarahkan pada sekolah yang belum berkualitas.
Selanjutnya kewajiban menempuh S1 ditekankan pada guru yang masih kurang
prestasinya. Indikator kualitas sekolah dapat dilihat melalui hasil nilai UAN/UAS
dan jumlah guru dengan kulaifikasi akademik yang memenuhi standar. Sedangkan untuk
mengukur prestasi guru, dapat dilakukan dengan memberikan tes, yang berkaitan
dengan masalah-masalah pengajaran dan pengembangan kurikulum. Tes tersebut
harus mengacu pada masalah-masalah mendasar pengajaran yang ada di sekolah
serta berkaitan langsung dengan kepentingan anak didik.
Dengan menarik
perhatian pada segi prestasi, maka permasalahan menjadi terpusat pada segi
mentalitas Guru. Tugas guru sesungguhnya sangat berat. Dikatakan berat jika
dijalankan dengan baik dan sesuai dengan tuntutan yang ada. Namun jika
dilaksanakan dengan asal jalan dan dimaknai sebagai rutinitas saja tanpa
memperhatikan kemajuan-pun dapat saja terus berjalan, meskipun jalan di tempat.
Untuk itu kesadaran guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi anak didik
adalah hal yang terpenting bagi kemajuan pendidikan. Apapun kebijakannya,
selama itu tidak menyentuh kesadaran tersebut maka kemajuan pendidikan akan sulit
tercapai.
- KESIMPULAN
Kualifikasi
akademik guru SD/MI S1, merupakan upaya yang baik sebagai peningkatan kualitas
pendidikan. Pelaksanaannya harus mengkaji kondisi lapangan, implementasi
kebijakan dan fleksibilitasnya, juga kesejahteraan guru. Kondisi lapangan
menuntut upaya pemerataan. Pemerataan sesungguhnya merupakan kondisi yang perlu
diciptakan terlebih dahulu pra kebijakan. Untuk itu orientasi kebijakan
kualifikasi akademik guru perlu menekankan upaya pemerataan. Hal ini harus
tercermin dalam proses pelaksanaannya. Perhatian terhadap kesejahteraan guru
harus ditingkatkan. Karena peningkatan kualitas adalah esensi kebijakan ini,
maka prestasi guru dan pertimbangan-pertmbangan objektif lainnya menjadi
‘rekomendasi utama’ peningkatan kesejahteraan.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Djohar, 2006, Guru,
Pendidikan dan Pembinaannya, Yogyakarta: Grafika Indah
Khaeruddin, Mahfud Junaedi,
dkk, 2007, Kurikulum tingkat satuan
pendidikan, Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet II Yogyakarta:
Pilar Media
Muhammad Zaini, Pengembangan
Kurikulum, Yogyakarta: Teras, 2009
Muslich, Masnur, 2007, Sertifikasi
Guru Menuju Profesionalisme Pendidik, Jakarta: Bumi Aksara
Nugroho, Riant, 2008, Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rohmad, Ali, 2009, Kapita
Selekta Pendidikan, Cet II, Yogyakarta:
Teras
Tyas, Darmaning, 2007, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cet II, Yogyakarta: LKiS
www.kemenag.com
Paul
Suparno, Kualifikasi Guru SD Harus S-1?,
dalam http://tunggarawae.multiply.com
[1] Masnur Muslich,Sertifikasi Guru
Menuju Profesionalisme Pendidik, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007), hal 5
[3] Sutrisno, Revolusi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2005), hal 159-160
[4] Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
[11]Khaeruddin, Mahfud Junaedi,
dkk, Kurikulum tingkat satuan pendidikan,
Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet II (Yogyakarta: Pilar Media,
2007), hal 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar